Bagimu Puasamu, Bagiku...???
Ramadan tinggal menghitung hari menuju Syawal. Namun sial, isi dompet belum saja memberi senyum. Belum terisi. Tunjangan di hari Lebaran, naga-naganya masih misterius, semesterius legendanya.
Jauh hari sebelum puasa, bos kantor memang sudah mewanti. Perihal THR yang seolah dibebankan kepada pengusaha kepada karyawan, di tahun-tahun belakangan memang jadi beban beneran.
Bukan tanpa sebab, meroket ke bawah perekonomian saban tahun, jadi pangkal enggannya omset perusahaan jadi pasang. Apalagi, perusahaan media cetak kian berada di posisi serba sulit di tengah gempuran kemajuan era digital. Berkembang susah, bertahan saja sudah syukur, apalagi ingin merasakan kejayaan seperti belasan tahun ke belakang, mustahil.
Bagaimana tidak pusing. Jelang lebaran seperti ini, biasanya bukan jadi masalah bagiku. Maklum, selain kantor, banyak relasi maupun kenalan para tokoh yang pernah ku wawancarai, kerap memberi parcel. Maka, aku tak perlu mengeluarkan biaya tambahan yang banyak untuk melengkapi sajian kepada sanak famili yang ke rumah kala hari besar.
Tapi tahun ini, memang ruwet. Kurang lebih kusut sama seperti pemerintah yang bingung cari dana untuk melanjutkan proyek IKN.
Seperti biasa, di saat begini, aku selalu mencari temanku itu. Ya, teman yang tampilannya memang acakaduk. Tapi, di balik kesemrawutan penampilannya, aku mendapat pemahaman bahwa ia menutupi jati diri dia yang sebenarnya. Orangnya cerdas memang. Diajak diskusi apa saja, nyambung, dan ada solusi, meski punchline nya kadang menohok.
Tapi, siang-siang puasa seperti ini, aku cari di mana dia. Biasanya, jelang siang, dia ada saja nongkrong di warkop andalan kami.
Tapi, aku iseng mengarahkan setang sepeda motor menuju warkop itu. Di parkiran, ku lihat warkop tertutup separo gorden. Itu tanda bahwa warkop itu tutup, tapi buka. Tertutup bagi yang puasa, terbuka bagi yang tidak.
Eh, ku tengok ada sepeda motor bututnya terparkir. Lantas aku pun nyelonong masuk.
Benar saja, ku lihat kawanku itu tengah asyik menyesap tembakau di temani segelas kopi pahit kegemarannya. Aku pun langsung duduk di kursi panjang persis berada di sampingnya.
Semakin ku lihat wajahnya, semakin asyik ia menelan sesaat asap kreteknya. "Buset ni orang," batinku.
"Kenapa? Tahu aku ini bulan Ramadan. Terus kenapa kau kemari," ujarnya enteng.
Sial, dia seakan tahu suara hatiku.
"Ya jelas puasa lah aku," sahutku agak kencang. Mendengar jawabanku, pengunjung yang juga pesan kopi di situ, merasa tidak enak dengan kehadiranku. Tapi, mereka tetap saja menikmati sajian. Memang, sebagian besar mereka adalah para pekerja yang menggunakan ototnya. Jadi aku maklum saja. Tapi kawan satu ini, ajaib bin aneh. Muda, sehat, bukan pekerja keras apalagi musafir, eh dengan santainya tidak berpuasa.
"Kenapa kau..."
"Sudah, aku tahu arah pertanyaanmu," potongnya cepat.
Lah, kalau dia tahu, kenapa dia tidak berpuasa. Padahal, kan diwajibkan berpuasa agar kita beriman. Ada tuh ayatnya. Rada gerigitan juga aku mendengar jawabannya.
"Terus apa hebatnya orang yang berpuasa? Mesti dihormati? Lemah betul imanmu," ceplosnya.
"Ya bukan gitu juga. Tapi ya, setidaknya, jangan vulgar seperti inilah. Kalau mau mokel, ya minimal di rumah sendiri. Kan ngga ada yang melihat," sahutku dengan nada yang sedikit ku turunkan.
"Kau berpuasa, apa yang kau puasakan. Kalau sekadar nahan lapar haus, setiap hari orang miskin menjalani. Bahkan, mereka tidak tahu kapan akan membatalkan puasanya. Kamu kan jelas, tidak makan minum sejak subuh hingga magrib saja," cerocosnya.
Kepalaku spontan geleng-geleng. Tapi tak lama, setelah pelan-pelan kucerna maksudnya, ucapan barusan ada benarnya. Apakah benar puasaku ini sekadar menahan lapar haus saja. Oke, hawa nafsu lainnya juga aku tahan. Tapi pertanyaan berikutnya, kenapa ditahan hanya sejak subuh hingga magrib saja? Bukankah aku begitu terpesona melihat hamparan aneka kue di pasar Ramadan. Semua seolah ingin aku makan begitu magrib tiba. Tapi faktanya, seteguk air teh hangat saja sudah membayar lapar hausku seharian. Kemana perginya nafsuku yang ingin makan semua jajanan itu?
"Pengeluaranmu pun membengkak kan? Padahal seharusnya berkurang. Sebab seharian tidak makan minum," potongnya lagi membuyarkan lamunanku.
Ucapannya ada benarnya. Aku tak sadar, malah selama puasa ini, kenapa pengeluaran semakin bertambah dibanding bulan lain. Aku mulai merasa ada yang kurang pas dengan apa yang kujalankan selama puasa ini. Bukankah puasa juga mengajarkan agar kita tidak berlebihan. Kalau cuma sekadar menahan haus lapar, tak ubahnya selama Ramadan kita hanya cosplay jadi orang miskin. Lantas apa istimewanya?
"Itulah, ada makna hakiki ibadah puasa itu. Orang-orang saja yang kadang malas menggunakan akalnya memikirkan kenapa kita diperintahkan puasa," ujarnya seraya menyomot sebiji gorengan hangat yang baru diangkat dari wajan.
"Maksud?,"
"Apakah benar puasa hanya di bulan Ramadan. Coba kamu perhatikan, bukankah Ramadan selalu berubah-ubah pada bulan Masehi kita? Dia bisa jatuh pada Maret, April, Desember, dan seterusnya. Artinya apa? Kita diminta berpuasa sepanjang hari, sepanjang bulan, sepanjang tahun, sepanjang hidup kita. Lalu, apakah kita hanya diperintah menahan haus lapar saja atau hawa nafsu lainnya selama Ramadan saja?," urainya panjang lebar.
"Bukankah kata ulama, Ramadan adalah bulan latihan agar kita menjadi lebih baik di bulan selanjutnya," jawabku.
"Sudah dilaksanakan? Apakah latihan menjadi jaminan? Bagus mana satu bulan latihan dibanding berpuasa sepanjang hidup?. Injak lagi akalmu hingga kau bisa mengungkap rahasia puasa yang seperti apa yang sesuai perintahNya," ujarnya sembari tertawa kecil.
"Kau bilang tadi sebagai latihan, Ramadan belum berakhir, kau sudah bernafsu ingin beli ini itu saat lebaran nanti. Hahahahaha. Mana..., katanya mau jadikan Ramadan sebagai ajang latihan menahan segala nafsu. Hahahaha....,"
Kali ini, ketawanya lepas. Seisi pengunjung menatapku tertunduk malu. (***)

Penulis: Tim Redaksi