Penulis: Tim Redaksi

Efisiensi, Kok Begitu...???

Efisiensi anggaran yang saat ini digendangkan pemerintah, perlahan jadi pisau bermata dua. Satu sisi bermanfaat, sisi lain melukai.

Siapapun pasti mengangguk kepala ketika efisiensi diletakkan dan digunakan tepat pada kondisi hingga momennya. Namun, yang sempat menahan anggukan kepala adalah pemerintah sempat-sempatnya membagikan jabatan kepada sesorang yang dianggap dan dinilai bukan ahlinya. 

Satu sisi menekan efisiensi, sisi lain malah menciptakan lubang baru untuk menambah pengeluaran. Di sini letak paradoks nya.

Lantas efisiensi seperti apa yang ideal? Belum tahu. Silakan saja dijalankan idenya. Namun jika ternyata hasilnya tidak sesuai harapan, maka jangan malu untuk mengatakan: program ini kita cabut karena melenceng.

Efisiensi anggaran di pemerintahan berdampak panjang. Bukan sekadar efek domino, melainkan efek bola karambol yang berhamburan kemana-mana.

Kita tahu, perekonomian kita masih ditopang anggaran pemerintah. Ruh jahir ekonomi kita terletak pada APBD maupun APBN.

Pengadaan, pekerjaan konstruksi, perjalanan dinas, pelaksanaan seminar dan agenda lainnya, menjadi hulu ledak ekonomi pelaku usaha lokal. Ketika pengurangan kegiatan dengan atas nama efisiensi, maka daya ledaknya pun berkurang. Bahkan, mobos.

Oke, penyesuaian bahkan pencoretan kegiatan di dinas, silakan saja. Tapi please, kalau bisa jangan dikurangi anggarannya. Alihkan ke program lain yang lebih bermanfaat. 

Pengurangan anggaran, bahkan pemangkasan besar-besaran jangan menimbulkan masalah baru. Niatnya mengurangi masalah, eh malah bertambah. Yang sebelumnya aja belum selesai, muncul masalah lainnya

Contoh kasus. Pengurangan kegiatan rapat di hotel, ini memberikan dampak ekonomi luar biasa. 

Satu hotel saja, banyak pihak terlibat. Ada karyawan, ada supplier, ada penjual hingga yang paling ujung: ada petani yang menyediakan bahan pangannya.

Ketika pelaksanaan kegiatan di hotel dibatasi bahkan diputus, dampaknya seram. Terputus rantai ekonomi. Lantak bangunan ekosistem. 

Manajemen kehilangan pendapatan, berujung kepada pengurangan tenaga kerja. Sayap penyuplai hotel pun patah berantakan. Pengangguran bertambah. Meleset janji kampanye yang akan menyediakan 19 juta lapangan pekerjaan.

Pengurangan dana bagi hasil (DBH) ke pemerintah daerah juga berdampak luar biasa. Kontraktor pun gigit jari. Rencana bisnis terhambur gegara jadwal pencairan terhambat. 

Sudahi bermain balon. Kita tekan satu sisi, tapi menimbulkan benjol di sisi lainnya.

Masih segar di kepala gaung otonomi daerah. Sekarang, kemana semangat otonomi itu? 

Apakah kita lupa, atau, kita masih ingat tapi pura-pura lupa, atau memang diam-diam kita mencoba melupakan?

Share: